BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Monday, September 26, 2011

Perilaku Dari Sudut Pandang Psikoanalisis


Perilaku Dari Sudut Pandang Psikoanalisa


Seperti dikemukakan di atas, salah satu disiplin ilmu yang berupaya menjelaskan perilaku manusia adalah psikologi. Tetapi perlu dipahami bahwa di dalam disiplin psikologi ini terdapat banyak cabang yang meski sama-sama menjelaskan faktor-faktor determinan perilaku manusia, namun tak jarang bertolak belakang secara ekstrem. Salah satu titik ekstrem adalah aliran behavioristik, beserta derivatnya, yang berkeyakinan bahwa segala macam perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya yang disebutnya stimulus. Tujuan perilaku manusia adalah merespon stimulus ini. Sedangkan di ujung lainnya berdiri aliran Psikoanalisa yang dikomandani oleh Sigmund Frued, beserta derivatnya. Aliran ini berasumsi bahwa energi penggerak awal perilaku manusia berasal dari dalam dirinya yang terletak jauh di alam bawah sadar. Di antara kedua ekstrem tersebut bercecer aliran-aliran lain yang merupakan konvergensi dari ke dua ekstrem tersebut.
Sigmund Frued, pendiri Psikoanalisa, adalah ahli psikologi pertama yang memfokuskan perhatiannya kepada totalitas kepribadian manusia,bukan kepada bagian-bagiannya yang terpisah. Selain itu, dengan memfokuskan pada salah satu aliran saja diharapkan bisa mengenal lebih mendalam pemanfaatan psikologi bagi kehidupan.
Sebagaimana tubuh fisik yang mempunyai struktur : kepala, kaki, lengan dan batang tubuh, Sigmund Frued, berkeyakinan bahwa jiwa manusia juga mempunyai struktur, meski tentu tidak terdiri dari bagian-bagian dalam ruang. Struktur jiwa tersebut meliputi tiga instansi atau sistem yang berbeda. Masing-masing sistem tersebut memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri. Keharmonisan dan keselarasan kerja sama di antara ketiganya sangat menentukan kesehatan jiwa seseorang. Ketiga sistem ini meliputi : Id, Ego, dan Superego. Sebagaimana akan dijelaskan nanti, masing-masing sistem atau instansi memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri.
1.Id
Sigmund Frued mengumpamakan kehidupan psikis seseorang bak gunung es yang terapung-apung di laut. Hanya puncaknya saja yang tampak di permukaan laut, sedangkan bagian terbesar dari gunung tersebut tidak tampak, karena terendam di dalam laut. Kehidupan psikis seseorang sebagian besar juga tidak tampak ( bagi diri mereka sendiri ), dalam arti tidak disadari oleh yang bersangkutan. Meski demikian, hal ini tetap perlu mendapat perhatian atau diperhitungkan, karena mempunyai pengaruh terhadap keutuhan pribadi ( integrated personality ) seseorang.
Dalam pandangan Frued, apa yang dilakukan manusia -khususnya yang diinginkan, dicita-citakan, dikehendaki- untuk sebagian besar tidak disadari oleh yang bersangkutan. Hal ini dinamakan “ketaksadaran dinamis”, ketaksadaran yang mengerjakan sesuatu. Dengan pandangan seperti itu, Frued telah melakukan sebuah revolusi terhadap pandangan tentang manusia. Karena, psikologi sebelumnya hanya menyelidiki hal-hal yang disadari saja. Segala perilaku yang di luar kesadaran manusia dianggap bukan wilayah kajian psikologi.
Pada permulaan psikologi modern, kehidupan psikis diindentikkan begitu saja dengan kesadaran. Pandangan ini dipelopori oleh seorang filsuf Prancis Rene Descartes (1596-1650) yang juga dijuluki “Bapak Filsafat Modern”. Menurut Descartes, anggapan adanya aktivitas psikis yang tidak disadari merupakan sebuah kontradiksi. Hidup psikis sama dengan kesadaran. Persamaan antara hidup psikis dengan kesadaran ditekankan dengan cara yang ekstreem oleh murid Descartes dari Belanda, Arnold Geulincx ( 1624-1669 ). Salah satu pernyataannya yang terkenal adalah Si facio acio quomodo fiat,”Jika saya melakukan sesuatu, saya tahu juga bagaimana hal itu terjadi.” Maksudnya, jika saya melakukan sesuatu, bukan saja saya tahu bahwa saya melakukannya, tetapi saya juga tahu bagaimana saya melakukannya. Seandainya saya melakukan sesuatu tanpa menyadarinya (misalnya, dalam keadaan tertidur, maka bukan sayalah yang melakukannya. Karena Frued, kita tahu bahwa ada juga aktivitas-aktivitas yang tidak disadari oleh subjek yang bersangkutan sendiri.
Frued menggunakan istilah Id untuk menunjukkan wilayah ketaksadaran tersebut. Id merupakan lapisan paling dasar dalam struktur psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat impersonal atau anonim, tidak disengaja atau tidak disadari, dalam daya-daya mendasar yang menguasai kehidupan psikis manusia. Oleh karena itu, Frued memilih istilah “id” ( atau bahsa aslinya “Es” ) yang merupakan kata ganti orang neutrum atau netral.
Dalam Id berlaku : bukan aku (= subjek ) pelakunya, melainkan ada yang melakukan dalam diri aku. Bagi Frued , adanya Id telah terbukti terutama melalui tiga cara. Pertama, fenomena psikis yang paling jelas membuktikan adanya Id adalah mimpi. Tentang mimpi berlaku bahwa “bukan sayalah yang bermimpi tapi ada yang bermimpi dalam diri saya”. Pada saat bermimpi, si pemimpi sendiri seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Ia bukan pelaku. Tontonan itu ditayangkan oleh ketaksadarannya. Dalam bukunya Penafsiran Mimpi ( 1900 ), bukunya yang pertama, Frued banyak membahas tentang mimpi.
Kedua, bukti lainnya adalah jika dipelajari perilaku-perilaku yang sepertinya biasa-biasa saja alias tak punya arti, seperti perilaku keliru, salah ucap ( “keseleo lidah” ) lupa dan sebagainya.bagi Frued, perilaku-perilaku tersebut bukanlah sesuatu yang kebetulan belaka, tetapi besumber dari dari aktivitas psikis yang tak disadari. Misalnya, ketua parlemen Austria pernah membuka sidang sambil berkata : “Dengan ini sidang saya tutup”, seraya mengetokkan palu. Padahal maksudnya berkata “Buka”, tetapi yang keluar dari mulutnya justru kata “tutup”. Mengapa demikian ? Karena bagi sang ketua, sidang hari itu cukup berat. Ia ingin sekali agar sidang itu cepat selesai. Keinginan yang tak disadari itu mengakibatkan ia keseleo lidah. Atau contoh dari salah satu murid Frued yang lupa mengeposkan surat. Saat merefleksikan kejadian itu, ia sampai pada satu kesimpulan bahwa ia “lupa” mengeposkan suratnya karena isinya tentang sesuatu yang amat berat baginya. Secara tak disadari, ia sebetulnya tidak mau mengirimkan surat itu, dan karena itu ia sampai “lupa”. Frued menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan seperti itu adalah berasal dari ketaksadarn. Hal ini dibahas Sigmund Frued dalam bukunya Psikopatologi tentang Hidup Sehari-hari ( 1901 ).
Ketiga, alasan paling penting bagi Frued untuk menerima adanya alam tak sadar ini adalah pengalamannya dengan pasien-pasien penderita neurosis. Penyakit neurosis merupakan teka-teki yang besar bagi kalangan kedokteran pada waktu itu. Secara fisiologis, pasien-pasien itu tidak mengidap kalainan apa pun, namun secara fakta mereka mempunyai berbagai macam gejala aneh. Frued menemukan bahwa neurosis disebabkan oleh faktor-faktor tak sadar. Misalnya, seorang wanita muda berusia 21 tahunyang menderita histeria,yang oleh kebanyakan dari kita disebut “kesurupan”. ( Histeria merupakan salah satu contoh dari neurosis ). Untuk beberapa waktu, wanita ini tidak bisa minum air sama sekali. Untuk menghilangkan rasa hausnya, ia hanya makan buah-buahan saja. Keadaan ini berlangsung selama lebih kurang enam minggu, sampai pada suatu hari, dalam keadaan terhipnotis ia bergumam tentang guru privatnya yang tak disukainya. Dan sambil menyatakan rasa muaknya, diceritakannya bagaimana pada suatu hari ia masuk kamar wanita ini dan di situ ia melihat anjing kecilnya – binatang yang menjijikkan – minum dari sebuah gelas. Pasien tersebut tidak berkata apa-apa, karena ia menjaga perilaku sopan. Setelah dengan hebat ia mengeluarkan kemarahannya yang sudah sekian lama terpendam dalam hati, ia minta minuman. Ia minum banyak sekali air dengan menggunakan gelas tanpa kesulitan apa pun, setelah tersadar dari pengaruh hipnotis. Setelah terapi tersebut, gangguan itu hilang sama sekali dan tak pernah kambuh lagi. Frued menemukan bahwa pasien neurotis bisa disembuhkan dengan jalan menggali kembali trauma psikis yang terpendam dalam ketaksadarannya.
Pertanyaan yang perlu dimajukan sekarang adalah, jika Id merupakan wilayah yang berada di luar kesadaran manusia, maka secara konkrit Id itu terdiri dari apa ? Dan isinya apa ? Menurut Frued, Id terdiri dari naluri atau instink-instink bawaan ( khususnya naluri seksual ), agresivitas dan keinginan-keinginan yang direpress.
Pada permulaan hidup manusia, kehidupan psikisnya hanyalah terdiri dari Id saja. Pada janin dalam kandungan dan bayi yang baru lahir, hidup psikisnya seratus prosen sama identik dengan Id. Id tersebut nyaris tanpa struktur apa pun dan secara menyeluruh dalam keadaan kacau balau. Namun demikian, Id itulah yang menjadi bahan baku bagi perkembangan psikis lebih lanjut.
Id adalah bagian kepribadian yang menyimpan dorongan biologis manusia – pusat insting (hawa nafsu, istilah dalam agama ). Ada dua insting dominan, yakni : ( 1 ) Libido – instink reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan manusia yang konstruktif; ( 2 ) Thanatos – instink destruktif dan agresif. Yang pertama disebut juga instink kehidupan ( eros ), yang dalam konsep Frued bukan hanya meliputi dorongan seksual, tetapi juga segala hal yang mendatangkan kenikmatan termasuk kasih ibu, pemujaan kepada Tuhan, cinta diri ( narcisisme ). Bila yang pertama adalah instink kehidupan, yang kedua merupakan instink kematian. Semua motif manusia adalah gabungan antara eros dan thanatos. Id bergerak berdasarkan kesenangan ( pleasure principle ), ingin segera memenuhi kebutuhannya. Id bersifat egoistis, tidak bermoral dan tidak mau tahu dengan kenyataan. Id adalah tabiat hewani manusia. ( Jalaluddin Rakhmat M.sc, Psikologi Komunikasi, 1986 )
Pada mulanya, Id sama sekali berada di luar kontrol individu. Id hanya melakukan apa yang disukai. Ia dikendalikan oleh “prinsip kesenangan” ( the pleasure principle ). Pada Id tidak dikenal urutan waktu ( timeless ). Hukum-hukum logika dan etika sosial tidak berlaku untuknya. Dalam mimpi seringkali kita melihat hal-hal yang sama sekali tidak logis. Atau pada anak kecil, kita bisa melihat bahwa perilaku mereka sangat dikuasai berbagai keinginan. Untuk memuaskan keinginan tersebut, mereka tak mau ambil pusing tentang masuk akal-tidaknya keinginan tersebut. Selain itu, juga tidak peduli apakah pemenuhan keinginan itu akan berbenturan dengan norma-norma yang berlaku. Yang penting baginya adalah keinginannya terpenuhi dan ia memperoleh kepuasan. Demikianlah gambaran selintas tentang Id. Bagaimana pun keadaannya Id tetap menjadi bahan baku kehidupan psikis seseorang
Id merupakan reservoar energi psikis yang menggerakkan Ego dan Superego. Energi psikis dalam Id dapat meningkat karena adanya rangsangan, baik dari dalam maupun dari luar individu. Apabila energi psikis ini meningkat, akan menimbulkan pengalaman tidak enak (tidak menyenangkan). Id tidak bisa membiarkan perasaan ini berlangsung lama. Karena itu, segeralah id mereduksikan energi tersebut untuk menghilangkan rasa tidak enak yang dialaminya. Jadi, yang menjadi pedoman dalam berfungsinya Id adalah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar keenakan.
Untuk menghilangkan ketidakenakan dan mencapai keenakan ini, id mempunyai dua cara, yang pertama adalah: refleks dan reaksi-reaksi otomatis, seperti misalnya bersin, berkedip karena sinar, dan sebagainya, dan yang ke dua adalah proses primer, seperti misalnya ketika orang lapar biasanya segera terbayang akan makanan; orang yang haus terbayang berbagai minuman. Bayangan-bayangan seperti itu adalah upaya-upaya yang dilakukan id untuk mereduksi ketegangan akibat meningkatnya energi psikis dalam dirinya.
Cara-cara tersebut sudah tentu tidak dapat memenuhi kebutuhan. Orang lapar tentu tidak akan menjadi kenyang dengan membayangkan makanan. Orang haus tidak hilang hausnya dengan membayangkan es campur. Karena itu maka perlu (merupakan keharusan kodrat) adanya sistem lain yang menghubungkan pribadi dengan dunia objektif. Sistem yang demikian itu ialah Ego.
2. Ego
Meski id mampu melahirkan keinginan, namun ia tidak mampu memuaskannya. Subsistem yang kedua – ego – berfungsi menjembatani tuntutan id dengan realitas di dunia luar. Ego merupakan mediator antara hasrat-hasrat hewani dengan tuntutan rasional dan realistik. Ego-lah yang menyebabkan manusia mampu menundukkan hasrat hewani manusia dan hidup sebagai wujud yang rasional ( pada pribadi yang normal ). Ketika id mendesak Anda untuk menampar orang yang telah menyakiti Anda, ego segera mengingatkan jika itu Anda lakukan, Anda akan diseret ke kantor polisi karena telah main hakim sendiri. Jika Anda menuruti desakan id, Anda akan konyol.
Jadi, ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan manusia untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan. Orang lapar tentu perlu makan untuk menghilangkan ketegangan yang ada di dalam dirinya. Ini berarti bahwa individu harus dapat membedakan antara khayalan dengan kenyataan tentang makanan. Di sinilah letak perbedaan pokok antara id dan ego. Id hanya mengenal dunia subjektif (dunia batin), sementara ego dapat membedakan sesuatu yang hanya ada di dalam batin dan sesuatu yang ada di dunia luar (dunia objektif, dunia kenyataan). Lain dengan id, ego berpegang pada prinsip kenyataan ( reality principle ) dan berhubungan dengan proses sekunder. Tujuan prinsip realitas adalah mencari objek yang tepat sesuai dengan kenyataan untuk mereduksi ketegangan yang timbul di dalam diri. Proses sekunder ini adalah proses berpikir realistik. Dengan mempergunakan proses sekunder, Ego merumuskan sesuatu rencana untuk pemuasan kebutuhan dan mengujinya dengan suatu tindakan untuk mengetahui apakah rencananya itu berhasil atau tidak.
Aktivitas Ego ini bisa sadar, pra sadar atau tak disadari. Namun untuk sebagian besar adalah disadari. Contoh aktivitas Ego yang disadari antara lain : persepsi lahiriah ( saya melihat teman saya tertawa di ruang itu ); persepsi batiniah ( saya merasa sedih ) dan berbagai ragam proses intelektual. Aktivitas pra sadar dapat dicontohkan fungsi ingatan ( saya mengingat kembali nama teman yang tadinya telah saya lupakan ). Sedangkan aktivitas tak sadar muncul dalam bentuk mekanisme pertahanan diri ( defence mechanisme ), misalnya orang yang selalu menampilkan perangai temperamental untuk menutupi ketidakpercayaan-dirinya; ketidakmampuannya atau untuk menutupi berbagai kesalahannya.
Aktivitas Ego ini tampak dalam bentuk pemikiran-pemikiran yang objektif, yang sesuai dengan dunia nyata dan mengungkapkan diri melalui bahasa. Di sini, the pleasure principle dari Id diganti dengan the reality principle. Sebagai misal, ketika seseorang merasa lapar. Rasa lapar ini bersumber dari dorongan Id untuk fungsi menjaga kelangsungan hidup. Id tidak peduli apakah makanan yang dibutuhkan nyata atau sekadar angan-angan. Baginya, ia butuh makanan untuk memuaskan diri dari dorongan rasa lapar tersebut. Pada saat yang bersangkutan hendak memuaskan diri dengan mencari makanan, Ego mengambil peran. Ego berpendapat bahwa angan-angan tentang makanan tidak bisa memuaskan kebutuhan akan makanan. Harus dicari makanan yang benar-benar nyata. Selanjutnya, Ego mencari cara untuk mendapatkan makanan yang dimaksud.
Menurut Frued, tugas pokok Ego adalah menjaga integritas pribadi dan menjamin penyesuaian dengan alam realitas. Selain itu, juga berperan memecahkan konflik-konflik dengan realitas dan konflik-konflik dengan keinginan-keinginan yang tidak cocok satu sama lain. Ego juga mengontrol apa yang akan masuk ke dalam kesadaran dan apa yang akan dilakukan. Jadi, Fungsi Ego adalah menjaga integritas kepribadian dengan mengadakan sintesis psikis.
3. Superego
Superego adalah sistem kepribadian terakhir yang ditemukan oleh Sigmund Frued. Sistem kepribadian ini seolah-olah berkedudukan di atas Ego, karena itu dinamakan Superego. Fungsinya adalah mengkontrol ego. Ia selalu bersikap kritis terhadap aktivitas ego, bahkan tak jarang menghantam dan menyerang ego. Mengenai Superego ini, Frued berkata :”Sepanjang proses terbentuknya teori analitis ( begitu Frued menamakan aliran psikologi yang ditemukannya, pen. ), mau tidak mau harus kami akui adanya sistem kepribadian lain, yang telah melepaskan diri dari ego. Kami menyebutnya “Superego”. Superego ini termasuk ego, dan seperti ego ia mempunyai susunan psikologis lebih kompleks, tetapi ia juga memiliki perkaitan sangat erat dengan id. Superego dapat menempatkan diri di hadapan Ego serta memperlakukannya sebagai objek dan caranya kerapkali sangat keras. Bagi Ego sama penting mempunyai hubungan baik dengan Superego sebagaimana halnya dengan Id. Ketidakcocokan antara ego dan superego mempunyai konsekuensi besar bagi hidup psikis.
Seperti dikemukakan di atas, Superego merupakan sistem kepribadian yang melepaskan diri dari Ego. Aktivitas Superego dapat berupa self observation, kritik diri, larangan dan berbagai tindakan refleksif lainnya. Superego terbentuk melalui internalisasi ( proses memasukkan ke dalam diri ) berbagai nilai dan norma yang represif yang dialami seseorang sepanjang perkembangan kontak sosialnya dengan dunia luar, terutama di masa kanak-kanak. Nilai dan norma yang semula “asing” bagi seseorang, lambat laun diterima dan dianggapnya sebagai sesuatu yang berasal dari dalam dirinya. Larangan, perintah, anjuran, cita-cita, dan sebagainya yang berasal dari luar ( misalnya orangtua dan guru ) diterima sepenuhnya oleh seseorang, yang lambat laun dihayati sebagai miliknya. Larangan “Engkau tidak boleh berbohong”, “Engkau harus menghormati orang yang lebih tua” dari orangtuanya menjadi “Aku tidak boleh berbohong”, “Aku harus menghormati orang yang lebih tua”. Dengan demikian, Superego berdasarkan nilai dan norma-norma yang berlaku di dunia eksternal, kemudian melalui proses internalisasi, nilai dan norma-norma tersebut menjadi acuan bagi perilaku yang bersangkutan.
Superego merupakan dasar moral dari hati nurani. Aktivitas superego terlihat dari konflik yang terjadi dengan ego, yang dapat dilihat dari emosi-emosi, seperti rasa bersalah, rasa menyesal, juga seperti sikap observasi diri, dan kritik kepada diri sendiri.
Konflik antara ego dan superego, dalam kadar yang tidak sehat, berakibat timbulnya emosi-emosi seperti rasa bersalah, menyesal, rasa malu dan seterusnya. Dalam batas yang wajar, perasaan demikian normal adanya. Namun, pada beberapa orang hidupnya sangat disiksa oleh superegonya, sehingga tidak mungkin lagi untuk hidup normal.
B. Dinamika Sistem Kepribadian
Sebagaimana diuraikan di atas, struktur kepribadian manusia, menurut pandangan Psikoanalisa, terdiri dari Id, Ego dan Superego. Id adalah komponen kepribadian yang berisi impuls agresif dan libinal, yang sistem kerjanya menggunakan prinsip kesenangan “pleasure principle”. Ego adalah bagian kepribadian yang bertugas sebagai pelaksana, yang bekerja atas dasar kenyataan pada dunia luar untuk menilai realita dan berhubungan dengan dunia dalam untuk mengatur dorongan-dorongan Id agar tidak melanggar nilai-nilai Superego. Superego adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan filter dari sensor baik- buruk, salah- benar, boleh- tidak sesuatu yang dilakukan oleh dorongan Ego.
Dalam perspektif aliran Freud, manusia dilihat sebagai sistem energi, dimana dinamika kepribadian berupa aktivitas mendistribusikan energi psikis kepada Id, Ego dan Superego. Tetapi pada manusia energi tersebut terbatas, maka satu diantara tiga sistem itu memegang kontrol atas energi yang ada, dengan mengorbankan dua sistem lainnya. Jadi kepribadian manusia itu sangat ditentukan oleh energi psikis yang menggerakkan.
Menurut pandangan Psikoanalisa, masing-masing bagian dari kepribadian total mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja dinamika dan mekanisme tersendiri, namun semuanya berinteraksi begitu erat satu sama lainnya, sehingga tidak mungkin dipisahkan. Id bagian tertua dari aparatur mental dan merupakan komponen terpenting sepanjang hidup. Id mencerminkan tujuan sejati kehidupan organisme individual. Jadi id merupakan pihak dominan dalam kemitraan struktur kepribadian manusia.
Untuk lebih jelasnya sistem kerja ketiga struktur kepribadian manusia tersebut adalah: Pertama, Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil, dimana ketika manusia itu dilahirkan ia hanya memiliki Id saja, karena ia merupakan sumber utama dari energi psikis dan tempat timbulnya instink. Id tidak memiliki organisasi, buta, dan banyak tuntutan dengan selalu memaksakan kehendaknya. Aktivitas Id dikendalikan oleh prinsip kenikmatan dan proses primer.
Kedua, Ego mengadakan kontak dengan dunia realitas yang ada di luar dirinya. Di sini Ego berperan sebagai “eksekutif” yang memerintah, mengatur dan mengendalikan kepribadian, sehingga prosesnya persis seperti “polisi lalulintas” yang selalu mengontrol jalannya Id, Superego dan dunia luar. Ia bertindak sebagai penengah antara instink dengan dunia di sekelilingnya. Ego ini muncul disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dari suatu organisme, seperti manusia lapar butuh makan. Jadi lapar adalah kerja Id dan yang memutuskan untuk mencari dan mendapatkan serta melaksanakan itu adalah kerja Ego. Sedangkan yang ketiga, Superego adalah yang memegang keadilan atau sebagai filter dari kedua sistem kepribadian, sehingga tahu benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak dan sebagainya. Di sini Superego bertindak sebagai sesuatu yang ideal, yang sesuai dengan norma-norma moral masyarakat.
Perilaku manusia untuk sebagian besar ditentukan oleh mekanisme masing-masing struktur. Pembentukan kepribadian akibat mekanisme tersebut secara global adalah: (1) apabila rasa Id-nya menguasai sebahagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak primitif, implusif dan agresif dan ia akan mengumbar impuls-impuls primitifnya, (2) apabila rasa Ego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya bertindak dengan cara-cara yang realistik, logis, dan rasional, dan (3) apabila rasa Superego-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, maka pribadinya akan bertindak pada hal-hal yang bersifat moralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang irrasional.
C. Defence Mechanisme
Selain Id dan Superego, menurut Frued, ada mekanisme lain yang juga berpengaruh terhadap perilaku manusia, terutama perilaku yang tidak sehat . Mekanisme ini dinamakan defence mechanisme atau mekanisme pertahanan diri. Sebagian dari cara individu mereduksi perasaan tertekan, kecemasan, stress atau pun konflik adalah dengan melakukan mekanisme pertahanan diri baik yang ia lakukan secara sadar atau pun tidak. Hal ini sesuai dengan pendapat dikemukakan oleh Freud sebagai berikut : Such defense mechanisms are put into operation whenever anxiety signals a danger that the original unacceptable impulses may reemerge (Microsoft Encarta Encyclopedia 2002)
Freud menggunakan istilah mekanisme pertahanan diri (defence mechanism) untuk menunjukkan proses tak sadar yang melindungi si individu dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Pada dasarnya strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya dan hanya mengubah cara individu mempersepsi atau memikirkan masalah itu. Jadi, mekanisme pertahanan diri merupakan bentuk penipuan diri.
Berikut ini beberapa mekanisme pertahanan diri yang biasa terjadi dan dilakukan oleh sebagian besar individu, terutama para remaja yang sedang mengalami pergulatan yang dasyat dalam perkembangannya ke arah kedewasaan. Dari mekanisme pertahanan diri berikut, diantaranya dikemukakan oleh Freud, tetapi beberapa yang lain merupakan hasil pengembangan ahli psikoanalisis lainnya. ( Sumber : e-Psikologi.Com )
a. Represi
Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustrasi, konflik batin, mimpi buruk, krisis keuangan dan sejenisnya yang menimbulkan kecemasan. Bila represi terjadi, hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih tetap ada pengaruhnya terhadap perilaku. Jenis-jenis amnesia tertentu dapat dipandang sebagai bukti akan adanya represi. Tetapi represi juga dapat terjadi dalam situasi yang tidak terlalu menekan. Bahwa individu merepresikan mimpinya, karena mereka membuat keinginan tidak sadar yang menimbulkan kecemasan dalam dirinya. Sudah menjadi umum banyak individu pada dasarnya menekankan aspek positif dari kehidupannya. Beberapa bukti, misalnya:
1. individu cenderung untuk tidak berlama-lama untuk mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan, dibandingkan dengan hal-hal yang menyenangkan,
2. berusaha sedapat mungkin untuk tidak melihat gambar kejadian yang menyesakkan dada,
3. lebih sering mengkomunikasikan berita baik daripada berita buruk,
4. lebih mudah mengingat hal-hal positif daripada yang negatif,
5. lebih sering menekankan pada kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan.
b. Supresi
Supresi merupakan suatu proses pengendalian diri yang terang-terangan ditujukan menjaga agar impuls-impuls dan dorongan-dorongan yang ada tetap terjaga (mungkin dengan cara menahan perasaan itu secara pribadi tetapi mengingkarinya secara umum). Individu sewaktu-waktu mengesampingkan ingatan-ingatan yang menyakitkan agar dapat menitik beratkan kepada tugas, ia sadar akan pikiran-pikiran yang ditindas (supresi) tetapi umumnya tidak menyadari akan dorongan-dorongan atau ingatan yang ditekan (represi)
c. Reaction Formation (Pembentukan Reaksi)
Individu dikatakan mengadakan pembentukan reaksi adalah ketika dia berusaha menyembunyikan motif dan perasaan yang sesungguhnya (mungkin dengan cara represi atau supresi), dan menampilkan ekspresi wajah yang berlawanan dengan yang sebetulnya. Dengan cara ini individu tersebut dapat menghindarkan diri dari kecemasan yang disebabkan oleh keharusan untuk menghadapi ciri-ciri pribadi yang tidak menyenangkan. Kebencian, misalnya tak jarang dibuat samar dengan menampilkan sikap dan tindakan yang penuh kasih sayang, atau dorongan seksual yang besar dibuat samar dengan sikap sok suci, dan permusuhan ditutupi dengan tindak kebaikan.
d. Fiksasi
Dalam menghadapi kehidupannya individu dihadapkan pada suatu situasi menekan yang membuatnya frustrasi dan mengalami kecemasan, sehingga membuat individu tersebut merasa tidak sanggup lagi untuk menghadapinya dan membuat perkembangan normalnya terhenti untuk sementara atau selamanya. Dengan kata lain, individu menjadi terfiksasi pada satu tahap perkembangan karena tahap berikutnya penuh dengan kecemasan. Individu yang sangat tergantung dengan individu lain merupakan salah satu contoh pertahan diri dengan fiksasi, kecemasan menghalanginya untuk menjadi mandiri. Pada remaja dimana terjadi perubahan yang drastis seringkali dihadapkan untuk melakukan mekanisme ini.
e. Regresi
Regresi merupakan respon yang umum bagi individu bila berada dalam situasi frustrasi, setidak-tidaknya pada anak-anak. Ini dapat pula terjadi bila individu yang menghadapi tekanan kembali lagi kepada metode perilaku yang khas bagi individu yang berusia lebih muda. Ia memberikan respons seperti individu dengan usia yang lebih muda (anak kecil). Misalnya anak yang baru memperoleh adik,akan memperlihatkan respons mengompol atau menghisap jempol tangannya, padahal perilaku demikian sudah lama tidak pernah lagi dilakukannya. Regresi barangkali terjadi karena kelahiran adiknnya dianggap sebagai sebagai krisis bagi dirinya sendiri. Dengan regresi (mundur) ini individu dapat lari dari keadaan yang tidak menyenangkan dan kembali lagi pada keadaan sebelumnya yang dirasakannya penuh dengan kasih sayang dan rasa aman, atau individu menggunakan strategi regresi karena belum pernah belajar respons-respons yang lebih efektif terhadap problem tersebut atau dia sedang mencoba mencari perhatian
f. Menarik Diri
Reaksi ini merupakan respon yang umum dalam mengambil sikap. Bila individu menarik diri, dia memilih untuk tidak mengambil tindakan apapun. Biasanya respons ini disertai dengan depresi dan sikap apatis.
g. Mengelak
Bila individu merasa diliputi oleh stres yang lama, kuat dan terus menerus, individu cenderung untuk mencoba mengelak. Bisa saja secara fisik mereka mengelak atau mereka akan menggunakan metode yang tidak langsung.
h. Denial (Menyangkal Kenyataan)
Bila individu menyangkal kenyataan, maka dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan (sebenarnya mereka sadari sepenuhnya) dengan maksud untuk melindungi dirinya sendiri. Penyangkalan kenyataan juga mengandung unsur penipuan diri.
i. Fantasi
Dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya, individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinya dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, yang dapat menimbulkan kecemasan dan yang mengakibatkan frustrasi. Individu yang seringkali melamun terlalu banyak kadang-kadang menemukan bahwa kreasi lamunannya itu lebih menarik dari pada kenyataan yang sesungguhnya. Tetapi bila fantasi ini dilakukan secara proporsional dan dalam pengendalian kesadaraan yang baik, maka fantasi terlihat menjadi cara sehat untuk mengatasi stres, dengan begitu dengan berfantasi tampaknya menjadi strategi yang cukup membantu
j. Rasionalisasi
Rasionalisasi sering dimaksudkan sebagai usaha individu untuk mencari-cari alasan yang dapat diterima secara sosial untuk membenarkan atau menyembunyikan perilakunya yang buruk. Rasionalisasi juga muncul ketika individu menipu dirinya sendiri dengan berpura-pura menganggap yang buruk adalah baik, atau yang baik adalah yang buruk.
k. Intelektualisasi
Apabila individu menggunakan teknik intelektualisasi, maka dia menghadapi situasi yang seharusnya menimbulkan perasaan yang amat menekan dengan cara analitik, intelektual dan sedikit menjauh dari persoalan. Dengan kata lain, bila individu menghadapi situasi yang menjadi masalah, maka situasi itu akan dipelajarinya atau merasa ingin tahu apa tujuan sebenarnya supaya tidak terlalu terlibat dengan persoalan tersebut secara emosional. Dengan intelektualisasi, manusia dapat sedikit mengurangi hal-hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan bagi dirinya, dan memberikan kesempatan pada dirinya untuk meninjau permasalah secara obyektif.
l. Proyeksi
Individu yang menggunakan teknik proyeksi ini, biasanya sangat cepat dalam memperlihatkan ciri pribadi individu lain yang tidak dia sukai dan apa yang dia perhatikan itu akan cenderung dibesar-besarkan. Teknik ini mungkin dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan karena dia harus menerima kenyataan akan keburukan dirinya sendiri. Dalam hal ini, represi atau supresi sering kali dipergunakan pula.
D. Apakah Hati Nurani = Superego ?
Apa yang diuraikan di atas adalah simplifikasi dari teori Psikoanalisa, yang sebenarnya jauh lebih kompleks dari sekadar uraian di atas. Namun, untuk keperluan perkuliah Etika Profesi dan Ilmu perilaku, penjelasan di atas kiranya relatif cukup. Berikutnya, akan diuraikan kaitan antara Superego dengan hati nurani. Apakah hati nurani merupakan bagian dari Superego atau Superego merupakan bagian hati nurani ? Atau samakah antara Superego dengan hati nurani ?
Meski beberapa kalangan mengidentikkan antara Superego dengan hati nurani, namun sebagian besar ahli berpendapat bahwa Superego tidak bisa disamakan dengan hati nurani. Alasan untuk tidak menyamakan keduanya adalah karena keduanya digunakan dalam konteks yang berbeda. Secara implisit di atas bisa diperoleh bahwa Superego lebih digunakan dalam konteks psikoanalitis. Sedangkan hati nurani lebih digunakan dalam konteks etis. Kedua konteks tersebut memiliki frame of reference berbeda.
Faktor lain yang tidak bisa mengidentikkan Superego dengan hati nurani wilayah dalam kesadaran tempat keduanya beraktivitas. Aktivitas Superego untuk sebagian besar berada pada tataran tak disadari. Pada saat seseorang merasakan perasaan bersalah, sumber perasaan bersalah maupun rasa bersalah itu sendiri bisa tetap tak disadari. Sebaliknya, hati nurani hanya bisa berfungsi pada wilayah sadar. Peranan hati nurani dalam kehidupan etis bisa fungsional hanya bila seseorang menyadari rasa bersalah dan tahu mengapa ia merasa bersalah. Taraf sadar merupakan keharusan supaya hati nurani bisa berfungsi dengan baik. Tanpa disadari, mustahil hati nurani bisa berperan sebagai penuntun di bidang moral.
Lantas, apakah tidak ada hubungan sama sekali antara Superego dengan hati nurani ? Ternyata juga tidak begitu. Keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Dalam paham psikoanalisa, Superego diasumsikan sebagai dasar psikologis bagi “fenomena etis” yang disebut hati nurani. Hal ini karena Superego bersifat lebih luas daripada hati nurani. Atau lebih tepat dikatakan bahwa hati nurani merupakan salah satu unsur dalam Superego. Dalam buku terakhirnya, Introduce to Psychoanalisa ( 1933 ), Frued mengatakan bahwa selain hati nurani Superego juga meliputi Self Observation dan Ego Ideal, gambaran yang dipakai seseorang untuk mengukur dirinya dan sebagai standar yang harus dikejar.
Seperti diuraikan di atas, Superego terbentuk dari proses internalisasi perintah-perintah atau larangan-larangan orang tua. Fungsi-fungsi psikis manusia pada permulaan hidupnya adalah sama dengan nol. Dari titik nol itu, selanjutnya mengalami suatu perkembangan yang kompleks hingga akhirnya mencapai taraf dewasa. Begitu pula dengan hati nurani. Dengan akal budinya, manusia mengembangkan hati nuraninya secara kompleks, hingga akhirnya menjadi sebuah sistem atau instansi yang menuntun dan membinanya dalam mencari kebenaran.
Dalam perjalanannya yang begiru panjang dan berliku-liku, hati nurani senantiasa diikat oleh kebenaran. Sekalipun Superego ( sebagai dasar bagi hati nurani dalam konteks etis ) belum terbentuk pada permulaan hidup seseorang, namun apa yang berlaku bagi hati nurani tetap mengikat kita. Bila dalam hati nurani seseorang terdapat nilai, misalnya “Saya tidak boleh menipu orang lain ( meski orang tertentu sebenarnya mudah ditipu ), nilai di dalam hati nurani tersebut akan mengikatnya untuk tidak melakukan penipuan, terlepas dari masalah bagaimana hati nurani sampai terbentuk.
Yang harus diperhatikan adalah seseorang harus mampu membedakan rasa bersalah yang patologis dan rasa berasalah yang bersifat etis sebagai fenomena dari hati nurani. Sigmund Frued punya jasa besar dalam memperlihatkan rasa bersalah yang seringkali bercampur dengan unsur-unsur patologis. Rasa bersalah demikian bisa sampai membuat orang tersiksa di luar batas. Salah satu pasien Frued mengalami rasa bersalah demikian. “Ia selalu bertanya pada dirinya sendiri, apakah bukan dia lah pembunuh yang sedang dicari polisi sehubungan dengan kasus pembunuhan yang telah ditemukan polisi pada hari itu. Padahal ia tahu pasti bahwa ia tidak melakukan kesalahan apa pun.“ Contoh ini bisa diperbanyak dengan contoh-contoh lain di mana dengan cara yang lebih halus rasa bersalah bercampur dengan kecemasan yang tidak sehat.
Tetapi dengan fakta tersebut bukan berarti kita bisa menggeneralisasikan bahwa setiap rasa bersalah selalu patologis. Psikoanalisa justru berupaya membantu kita untuk membedakan antara rasa bersalah yang kurang sehat dengan rasa bersalah yang otentik. Maksudnya, rasa bersalah yang terpancar dari kepribadian yang utuh. Bukan rasa bersalah sebagai kecemasan untuk kecenderungan-kecenderungan yang tak teratur. Rasa bersalah yang otentik adalah manifestasi dari rasa hormat kepada orang lain yang tidak boleh saya rugikan dengan perbuatan saya. Nilai-nilai dalam hati nurani harus menjadi semacam tehnik untuk mewujudkan kebahagian dalm hubungan sosial antar sesamanya dan masyarakat.
Jadi jelas sekali bahwa antara Superego dan hati nurani tidak identik, meski yang satu menjadi bagian dari yang lain. Superego bisa berperan dalam konteks sadar maupun tidak. Sedang hati nurani bermanifestasi dalam wilayah kesadaran saja. Dengan demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Superego dipergunakan dalam bidang psikologi klinis, adapun hati nurani dipergunakan untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan moral.

0 comments: